prespektif islam terhadap aliran nativisme, empirisme, dan konvergensi



1.        Interpretasi Pertama
Fitrah yang disebutkan dalam Q.S. Ar-rum: 30 yaitu:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah selurus-lurusnya (sesuai dengan kecenderungan aslinya); Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah. Itulah agama yang lurus; namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S. Ar-rum: 30)  

Fitrah tersebut mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme, yang didalamnya/diri manusia terdapat potensi dasar beragama yang benar dan lurus (ad-din al-qayyim) yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat dirubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka pendidikan Islam bisa dinamakan berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses pendidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik tidak berdaya merubahnya. Faham nativisme ini berasal dari pandangan filosofis ahli pikir Italia bernama Lomrosso dan ahli fikir Jerman bernama Schopen Hever pada abad pertengahan.[1]

Pengertian fitrah yang bercorak nativisme di atas berkaitan juga dengan faktor hereditas (keturunan) yang bersumber dan orang tua termasuk keturunan beragama. Menurut Ali Fikry, salah seorang ahli pendidikan Mesir menyatakan bahwa kecenderungan nafsu itu berpindah dari orang tuanya. Manusia sejak awal perkembangannya, berada di dalam garis keturunan dari keagamaan orang tuanya. Jika orang tuanya muslim, maka anaknya menjadi muslim dan jika mereka kafir, maka anaknya akan menjadi kafir pula.[2] Ada sabda Nabi SAW yang dapat dijadikan sumber pandangan Nativisme yaitu “Setiap orang dilahirkan ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragam),” maka setelah itu orangnya mendidik menjadi Yahudi, Nasroni, Majusi; jika kedua orang tuanya beragama Islam, maka anaknya muslim juga.
Oleh karena itu, apabila pendapat faham nativisme itu benar, percuma kita mendidik atau dengan katalain pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan ilmu ini disebut pesimisme pedagogis.[3]

2.        Interpretasi Kedua
Dalil-dalil lainnya yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan fitrah yang mengandung kecenderungan yang netral adalah:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|ÁöF{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  ( النهل : 78)

Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”
(Q.S. An-Nahl (16) : 78)


Firman Allah di atas menjadikan petunjuk bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan, sebab dengan potensi pendengaran, penglihatan dan hati, manusia bisa dididik. Dengan kemampuan yang ada dalam diri anak didik terhadap pengaruh eksternal yang bersumber dari fitrah itulah maka pendidikan secara operasional bersifat hidayah (menunjukkan).[4]
Dalam Q.S al-Alaq ayat 3 – 4 menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar, niscaya tidak akan dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan hidup di dunia maupun di akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika diperoleh melalui proses belajar mengajar yang diawali dengan kemampuan menulis dan membaca dalam arti luas.
Pengaruh dari luar diri manusia terhadap fitrah yang memiliki kecenderungan untuk berubah sejalan dengan pengaruh tersebut dapat disimpulkan dari interpretasi atas kata “fitrah” yang disebutkan dalam Sabda Nab SAW yang menyatakan bahwa tidaklah anak dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanya mendidiknya Yahudi atau Nasrani. Atas dasar hadits tersebut bahwa fitrah sebagai faktor pembawaan sejak lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia tidak dapat akan berkembang sama sekali bila tanpa adanya pengaruh lingkungan.[5] Sedangkan lingkungan itu sendiri dapat dirubah bila tidak favourabel (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Dari interpretasi tentang fitrah tersebut dapat disimpulkan bahwa “meskipun fitrah tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah itu tidak netral terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau respon terhadap pengaruh tersebut. Dengan kata lain bahwa dalam proses perkembangan, terjadi interaksi antara fitrah dengan lingkungan sekitar sampai akhir hayat manusia.
Jika mempercayai faham John Lock sebagai dalil bahwa jika anak sejak lahir berada dalam keadaan suci bersih bagaikan meja lilin (tabularasa) yang secara pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal. Berarti kita harus menghargai benih-benih potensial manusia yang dapat dikembang tumbuhkan melalui pengaruh pendidikan. Sikap demikian akan membawa pikiran kita ke arah faham empirisme yaitu faham yang memandang bahwa pengaruh lingkungan eksternal termasuk pendidik merupakan satu-satunya pembentukan dan penentu perkembangan hidup manusia. Dan pada ilmu pendidikan. Ilmu ini disebut optimisme pedagogis.
Tapi telah dibuktikan oleh para ahli psikologi dan pendidikan yang behaviorisme bahwa perkembangan manusia tidaklah secara mutlak ditentukan oleh pengaruh lingkungan eksternal, sehingga seolah-olah ia menjadi budaknya lingkungan. Mereka membuktikan meskipun seseorang yang hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain dan masing-masing akan memberikan respon yang sama terhadap stimulus yang sama namun dengan cara berbeda mereka memberikan respon terhadap stimulus, terbukti bahwa orang tidaklah secara mutlak tunduk kepada pengaruh lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu jiwa seseorang tidak netral dalam menghadapi pengaruh lingkungannya, tetapi respiratif dan aktif.
Dengan demikian, pengertian fitrah menurut interpretasi kedua ini tidak dapat sejalan dengan faham empirisme. Karena faktor fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya kepada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ulmu pengetahuan, melainkan mengandung pula tabiat atau watak dan kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal itu, sekalipun tidak aktif.

3.        Interpretasi Ketiga
Konsep Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa tiap manusia diberi kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa mentaati perintah-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
 <§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ ( الشمش : 7 -10 )

Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan-Nya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As-Syams : 7 – 10)

Firman Allah tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan melalui usaha pendidikan, manusia juga bisa terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu menjadi kafir.
Firman Allah berikut ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih dua jalan, yang benar atau yang sesat, jalan yang benar terbentang jelas dan begitupun sebaliknya.
çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ   ( البلد : 10)
Artinya : “Dan aku tunjukkan dia dua macam jalan (jalan yang benar dan jalan yang sesat).” (Q.S. Al-Balad : 10).

Atas dasar ayat tersebut kita dapat meninterpretasikan bahwa dalam fitrah manusia telah diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dan yang salah. Kemampuan memilih tersebut  mendapatkan pengaruh dalam proses kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelas bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat dalam fitrah manusia berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat). Karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian brefikir benar dan sehat merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut dapat dikatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang sengaja adalah pendidikan dan latihan berproses interaktif dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pendidikan Islam pengertian ini disebut faham konvergensi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan Islam dapat berorientasi kepada salah satu faham filosofis pendidikan saja atau campuran antara faham tersebut di atas. Namun apapun faham filosofis yang dijadikan dasar pandangan, ilmu pendidikan Islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah Allah yang menentukan hasil akhir.




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Basuki dan Ulum, M. Miftahul. Pengantar Ilmu Pendidikan. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis. Bandung: Rosdakarya, Cet ke-14, 2005.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Ahmad, Abu. Psikolog Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.



 

 







ii
                                                        


[1] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis (Bandung:Rosdakarya, Cet ke-14, 2002), 59.
[2] Ali Fikry, Al-Insan, 97-99.
[3] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis (Bandung:Rosdakarya, Cet ke-14, 2002), 59.
[4] Prof. Dr. Mohammad fadli al-Djamaly, Nahwa Tarbiyatin Mukminatin, hal 14.
[5] Abu Ahmad, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 7

Comments

Popular posts from this blog

Kurikulum Sebagai Sistem Dan Komponen-Komponen Sistem Kurikulum

Sejarah ilmu mantiq

PENDIDIKAN PONDOK PESARNTREN HUDATUL MUNA 1 JENES