Maslahah Mursalah




A.  Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah dan mursalah menurut luqat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja:
يصلح – صلح – صلحا – مصلحة
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :
ارسل – يرسل – ارسالا – مرسل
menjadi  مرسل yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai (dipergunakan).[1] Ada juga yang mengartikan Al-Mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasarnya 3 huruf), yaitu  رسل dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi  ارسلyang berarti “terlepas”, atau dalam arti  مطلقة(bebas). Kata terlepas dan bebas di sini bila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.[2]
Sedangkan maslahah mursalah menurut istilah adalah prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga berarti sesuatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[3]
Selain itu ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah marsalah ini, yaitu:
§  Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa
Maslah Mursalah adalah apa-apa yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.
§  Menurut Al-Syaukani dalam kitab Irsyad Al-Fahulu
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak diketahui apakah syarat menolaknya dan memperhitungkannya.
§  Menurut Qudamah
Maslah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula memperhatikannya.
§  Menurut Hamid Al-Alim
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada bukti atau petunjuk syara. Tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya. Seperti menetapkan adanya penjara, atau mencetak uang, atau tanah pertanian hasil penaklukan para sahabat ditetapkan sebagai pemiliknya dengan berkewajiban membayar pajak
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan tentang hakekat dari maslahah mursalah tersebut sebagai berikut:
  1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
  2. Apa yang baik menurut akal itu juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara menetapkan hukum
  3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara tersebut tidak ada petunjuk syara yang menolaknya, dan juga tidak ada petunjuk syara yang mengakuinya.[4]


B.   Syarat-syarat Maslahah Mursalah

  1. Maslahah itu harus hakikat, bahkan dugaan Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikinya yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
  2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
  3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syara’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh jenis syara’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
  4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.[5]


C.  Macam-macam Maslahah Mursalah
a.    Maslahah Daririyah  المصلحة الضرورية.[6]
 Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa,akal,keturunan,dan harta.
a). agama, syariat yang diwajibkan untuk memeliharta agama adalah kewajiban jihad(berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah islamiyah.
b). jiwa, syariat yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya.
c). akal, syariat yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan.
d). keturunan, syariat yang diwajibkan memelihara keturunan adalah untuk menghindarkan diri dari berbuat zina.
e) harta, syariat yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhi pencurian.
b.   Maslahah hajjiyah. المصلحة الحاجية


“ maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan  dasar yang lain(yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi orang musyafir.
Adat misalnya, dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yang baik-baik dan yang indah-indah. Muamalat misalnya, dibolehkan jual beli saham.

c.    Maslahah tahsiniyah. المصلحة التحسينسة

“ maslahah tassiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimah keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama..[7]
.
          Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara berurutan menggambarkan dharuriyah tingkat peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah mashlahah, kemudian di bawahnya adalah mashlahah hajiyah dan berikutnya mashlahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi pembenturan kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji, dan didahulukan atas tahsini.
Begitu pula bila terjadi pembenturan antara sesama yang dharuri tersebut, maka tingkat yang lebih tinggi harus didahulukan. Jihad di jalan Allah, disyariatkan untuk menegakkan agama meskipun dengan mengorbankan jiwa dan harta sebagaimana tersebut dalam friman Allah pada surat Al-Maidah (5) : 41 :
وَجَاهِدُوْابِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu dalam jalan (menegakkan) agama Allah.
Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan harta. Begitu pula syariat membolehkan minum khamar bagi orang yang tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara jiwa itu harus didahulukan atas memelihara akal. (Hubungan mashlahah dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, akan diuraikan dalam bahasan Maqashid al-Syari’ah)[8]

D.  KEHUJJAHAN MASHLAHAH MURSALAH
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya :
a.  Mashlahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli zahir.
b.  Mashlahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’I tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama tentang Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah menyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemashlahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemashlahatan yang dibenarkan syara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap mashlahah yang dibenarkan syara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari’ (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini karena hampir tidak ada mashlahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.[9]
c.  Imam Al-Qarafi berkata tentang mashlahah mursalah :
اِنَّ الْمَصْلَحَةَ الْمُرْسَلَةَفِى جَمِيْعِ الْمَذَاهِبِ عِنْدَ التَّحْقِيْقِ ِلاَنَّهُمْ يَقِيْسُوْنَ وَيُفَرِّقُوْنَ بَالْمُنَاسَبَاتِ وَلاَيَطْلُبُوْنَ شَاهِدًابِاْلاِعْتِبَارِ
Artinya :
“Sesungguhnya berhujjah dengan mashlahah mursalah dilakukan oleh sesama mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya Karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat”.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan Allah mengutus utusan-utusan untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan manusia maka jelaslah bagi kita bahwa mashlahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’ / agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.[10]

E. Obyek Maslahah mursalah.

 Yang menjadi obyek maslahah mursalah ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tak ada satupun nash( Al-Quran dan Hadist) yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mahzab yang ada dalam Fiqh, demikian pernyataan Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam kitapnya Maslahah mursalah menerangkan maslahah mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu.
Oleh sebab itu hendaknya kaum muslimin beribadah sesuai dengan ketentuannya yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadist.
Menurut Imam Al-Haromain : menurut pendapat Imam Asy-Syafi’I dan sebagian besar pengikut mazhab hanafi, menetapkan hukum dengan maslahah mursalah harus dengan syarat harus ada persesuaian dengan maslahah mursalah yang diyakini,diakui dan disetujui oleh para ulama

 
DAFTAR PUSTAKA


Uman Chaerul, Ushul Fiqih I. Bandung, Pustaka Setia, 2000.

Syarifudin Amin, Ushul Fiqih II, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008.

Khalaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, PT. Raja Grafindo Prasada, 2000.

Hanafi P. Ushul Fiqih, Jakarta, Wijaya, 1968.


[1] Drs. Chaerul Uman, dkk. Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka setia, 1998), 135
[2] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), 73
[3] Drs. Chaerul Uman, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 136
[4] Drs. Chaerul Uman, dkk. Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 137
[5]   Drs. Chaerul Uman. Dkk, Ushul Fiqih I (Bandung, Pustaka Setia, 1998) 137
[6] Prof. Dr.H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqih 2(Jakarta, Kecana Prenada Media Group 2008)75
[7] Ibid, 76
[8] Ibid, 77
[9] A. Hanafi, Ushul Fiqih (Jakarta, Wijaya, 1961)136
[10] Ibid, 137

Comments

Popular posts from this blog

Kurikulum Sebagai Sistem Dan Komponen-Komponen Sistem Kurikulum

Sejarah ilmu mantiq

PENDIDIKAN PONDOK PESARNTREN HUDATUL MUNA 1 JENES