Keilmuan umum dan agama dalam sistem Sekolah dan madrasah ke arah rumusan baru yang integralistik - interkonektif
A. Ilmu Agama di Sekolah
Pendidikan agama
merupakan salah satu dari tiga mata pelajaran yang wajib diberikan pada setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan (Pendidikan Pancasila, Agama dan
Kewarganegaraan). Hal ini sesuai dengan hak peserta didik sesuai dengan yang
tertera pada Pasal 12 Bab V UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi, “Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan sesuai oleh peserta didik yang
beragama.”[1]
Bila dikaitkan dengan
tujuan pendidikan Islam, maka pendidkan agama harus mampu mengantarkan seorang
peserta didik kepada tiga aspek yaitu aspek keamanan, aspek ibadah dan aspek
akhlak. Dalam operasionalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum di atur
oleh Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah negeri
sejak dari pendidikan dasar sampai penidikan menengah, pendidikan agama dilaksanakan
dua jam pelajaran setiap minggunya. Dalam Undang-undang tentang sistem
Pendidikan Nasional ditetapkan pada Bab XIII Pasal 47 ayat (2), bahwa ciri
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. [2]
Sebenarnya
pendidikan agama di negara kita sudah ada jauh sebelum kemerdekaan. Namun
karena politik pendidikan pemerintah penjajah (Belanda) maka di sekolah-sekolah
negeri tidak diberikan pendidikan agama. Politik pendidikan seperti ini
dikatakan “neutraal”, artinya pihak pemerintah tidak mencampuri masalah
pendidkan agama sebab agama dianggap menjadi tanggung jawab keluarga.[3] Setelah
Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari berapa
pentingnya pendidikan agama. Ki Hajar Dewantara selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan pada Kabinet pertama menyatakan dengan tegas bahwa Pendidikan
Agama perlu dijalankan di
sekolah-sekolah negeri.
Dengan usulan itu maka tepat pada tanggal 3 Januari 1946 didirikanlah
Kementerian Agama.
Ilmu agama sangat
perlu diajarkan disetiap lembaga pendidikan, karena setiap orang pasti
beragama. Jadi untuk menambah tingkat ketaqwaan setiap individu tidak ada
salahnya jika di lembaga pendidikan terdapat mata pelajaran Ilmu Agama. Ilmu
tanpa agama tidak akan berguna begitu sebaliknya agama tanpa ilmu akan
menimbulkan kesesatan. Jika seseorang hanya mempelajari ilmu umum saja, maka
jiwanya tidak akan tenang. Demikian juga bila seseorang hanya fokus pada ilmu
agama. Maka pola pikir seseorang tersebut tidak akan mengalami perubahan.
Sekolah umum hanya
mempelajari satu cabang dari ilmu agama yaitu Pendidikan Agama Islam, berbeda
jauh dengan madrasah-madrasah. Istilah agama Islam di sini harus dipahami
sebagai objek pembelajaran yang kita kenal dengan sebutan Ilmu Pendidikan Agama
islam berarti proses belajar mengajar tentang Agama Islam. Ilmu ialah seluruh
kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan terkait secara logis. Karena
“kepercayaan” dan “cara hidup”. Jadi dapat disimpulkan bahwa Agama Islam adalah
keperayaan dan cara hidup orang Islam, karena Islam merupakan nama salah satu
agama yang ada di dunia.[4]
Jika dalam sekolah
umum tidak ada pelajaran agama dan hanya mengutamakan ilmu-ilmu umum saja, maka
peserta didik akan merasa jenuh, akan tetapi bebeda halnya jika ada pelajaran tentang
agama mereka akan merasa dekat dengan Sang Penciptanya. Jadi Ilmu umum harus
diimbangi dengan ilmu agama agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
B. Ilmu Agama di Madrasah
Madrasah sebagai
lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal sudah dikenal sejak awal abad
ke 11 atau 12 M atau abad ke 5 – 6 H, yaitu sejak dikenal adanya Madrasah
Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam Al-Mulk, seorang Wazir dari
Dinasti Saljuk.[5]
Pendiri Madrasah ini telah memperkaya khasanah lembaga pendidikan di lingkungan
masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional yang diselenggarakan di
masjid-masjid dan dar al-Khuttab.
Indonesia merupakan
negara bekas jajahan, karena pengaruh politik penjajahan sekolah dan madrasah
dipandang sebagai dua bentuk lembaga pendidikan yang berbeda secara dikotomis:
sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat Islam. Itulah sebabnya ketika
masa awal kemerdekaan, perkembangan madrasah di Indonesia mengalami konflik
yaitu di satu pihak pemerintah ingin menjadikannya sebagai lembaga pendidikan
nasional dengan memberi muatan non keagamaan, di lain pihak kalangan madrasah
merasa khawatir akan fungsi pendidkan keagamaan jika madrasah dimasukkan ke
dalam jajaran pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan
madrasah di Indonesia di Indonesia dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI)
setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika di sekolah umum yang mendominasi adalah
pelajaran umum maka bisa dikatakan bahwa di Madrasah antara ilmu umum dan ilmu
agama seimbang. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya macam mata pelajaran
dari keduanya, bila di sekolah umum ilmu agama yang dipelajari hanya pendidikan
agama Islam, maka di madrasah ilmu agama yang dipelajari diantaranya adalah
Al-Qur’an Hadits, ilmu kalam (tauhid), Filsafat, Aqidah akhlaq, Tasawuf, Fiqh
dan Ushul Fiqh serta ilmu Sejarah Islam.[6]
Sedangkan untuk ilmu umumnya hampir sama dengan di sekolah-sekolah umum yang
membedakan hanya jumlah jam pelajarannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pendidikan di madrasah jauh lebih memadai jika dibandingkan dengan sekolah
umum, akan tetapi madrasah juga mempunyai kelemahan antara lain dengan
banyaknya mata pelajaran maka waktu pembelajarannya juga akan berkurang. Akan
tetapi dengan adanya madrasah kebutuhan antara ilmu umum dan ilmu agama bisa
seimbang.
Adapun strategi
pelaksanaan ciri khas agama Islam di Madrasah adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan PAI melalui mata pelajaran Al-Qur’an, Hadits,
keimanan, Akhlaq, Fiqh, Sejarah Islam dan pelajaran lainnya.
2. Peningkatan PAI melalui kegiatan ekstra kurikuler
3. Peningkatan PAI melalui penciptaan suasana keagamaan yang kondusif
4. Peningkatan PAI melalui pembiasaan dan pengalaman agama, shalat
berjama’ah di sekolah dan kegiatan praktik keagamaan lainnya.[7]
Jadi jika ilmu agama
diimbangi dengan ilmu umum, maka akan memudahkan seorang peserta didik untuk
melangkahkan kakinya.
C. Integrasi Ilmu Agama di Sekolah dan Madrasah
Salah
satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata Islamisasi. Menurut Echol dan Hasan
Sadily, kata Islamisasi berasal dari Bahasa Inggris yakni Islamization yang
berarti pengislaman.[8] Dalam
Kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring wthin Islam. Makna yang
lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Dalam
konteks Islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip
tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Lebih lanjut, Islamisasi
ilmu pengetahuan, menrut Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik
antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami
nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan.[9] Tanpa
memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat Islam akan terus
tertinggal oleh umat lainnya karena realitasnya, saat ini ilmu pengetahuanlah
yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat Islam.
Namun
hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa
“agama” dan ilmu adalah dua etnis yang berbeda yang tidak bisa dipertemukan.[10]
Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan yang
lainnya. Dengan ungkapan lain ilu tidak mempedulikan agama dan agama tidak
mempedulikan ilmu.
Dalam
sejarah hubungan ilmu dan agama di Barat, pemimpin gereja menolak teori
heliosentris Galileo atau teori evolusi Darwin. Pemimpin geraja membuat
pernyataan-pernyataan di luar bidang kompetensinya. Sebaliknya Isaac Newton dan
tokoh ilmu-ilmu sekuler yang lain menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai
penutup sementara lubang kesulitan yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh
teori ilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih lengkap
atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan mereka. Begitu kesulitan ini
terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Akhirnya
Tuhan dalam benak ilmuwan hanya ibarat pembuat jam (clock marker). Pola
pikir yang serba dikothomis ini menjadikan manusia teasing dari nilai-nilai
spiritualitas-moralitas, terasing dari dirinya sendiri. Singkatnya, terjadi
proses dehumanisasi secara pasif baik pada tatanan kehidupan keilmuan
maupun keagamaan.
Pendidikan
dan aktivitas keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di
tanah air seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era
revolusi informasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati
nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku manusia
cerdik pandai.[11] Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme meraja
lela dimana-mana. Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah
berpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-enskopedik di satu
sisi, yang ditokohi oleh Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun yang berhadapan
dengan pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain
yang dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli Fiqh.
Ilmu-ilmu
sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tingg Agama secara terpisah seperti
sekarang ini berjalan sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat
memecahkan banyak soal), mengalami kemandegan dan kebuntuan.
Perguruan
Tinggi Agama khususnya IAIN, secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma keilmuan yang
pernah dibangunnya. Begitu juga dengan Perguruan Tinggi Umum yang sudah mapan
dan berjalan selama ini. Ide dan usulan perlu dikembangkan ilmu-ilmu sosial dan
kajian agama secara kontekstual di Perguruan Tinggi Umum merupakan tanda adanya
keprihatinan yang serius tentang pengembangan dan tujuan pembelajaran.
Bangunan
ilmu yang dikotomik antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama
harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih integralistik atau
paling tidak keduany harus bersifat komplementer.
Ilmu
yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif. Artinya, suatu ilmu
tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama dan anti agama sebagai norma
tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang
agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak menjadi masalah. Ilmu yang berlatar
belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.
Untuk
membuktikan pernyataan ini, ada konsep jaring laba-laba Keilmuan Teo
antroposentrik – Integralistik dalam Universitas Negeri.
![]() |
Kondisi
sekarang ini menunjukkn bahwa radius daya jangkau aktivitas keilmuan dan
lebih-lebih pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan
STAIN di seluruh tanah air, hanya befokus pada lingkar 1 dan jalur lingkar
lapis 2 (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Tafsir, Lughah).[12] Itupun
boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan humaniora
klasik. IAIN pada umumnya sekarang ini belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu
sosial dan humanitis kontemporer seperti yang tergambar pada jalur lingkar 2.
akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara
ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan
analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Kesenjangan
wawasan ini cukup berakibat pada dinamika keilmuan dan implikasinya dalam
kehidupan sosial-keagamaan. Lebih-lebih kesenjang-an wawasan keilmuan ini juga
dirasakan oleh mahasiswa dan alumni perguruan tinggi umum, khususnya yang
mengambil jurusan eksakta. Ke depan kesulitan ini akan semakin diperparah
dengan realitas di lapangan bahwa ilmu-ilmu agama ini memang tidak dirancang
terintegrasi dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi bobot
keterampilan untuk hidup secara luas. Ilmu-ilmu kauniyyah (Iptek atau
science and technology) ini terpisah jauh dari inti ilmu-ilmu Qauliyyah
(teks – naskah), dan kemudian masing-masing berdiri sendiri tanpa kontak dan
tegu sapa. Jika keadaan sudah seperti ini maka akan sulit untuk menyatukannya.
Untuk
mengetasi masalah ini, Sahirul Alim menggambarkan Ilmu terpadu itu dengan Skema
berikut:
![]() |
Dengan
kontruksi ilmu seperti di atas, maka tujuan yang digaiskan Islam untuk mencari
ilmu dapat dicapai. Ilmu pengetahuan yang harus dikuasai, menurut pandangan
Islam adalah segala ilmu pengetahuan yang dapat membawanya menuju iman kepada
Allah. Maka Islam memasukkan pencarian terhadap ilmu sebagai amalan sangat
terhormat sebagai bagian dari ibadah.[13]
Ada
tiga setrategi untuk menyatukan ilmu agama dan ilmu umum, yaitu:
1.
Adanya Program Mafikib dengan
Nuansa Islam
Program mafikib dengan
nuansa Islam dimaksudkan menjembatani kekurangakraban dan kekurangtertarikan
madrasah di Indonesia dengan bidang studi matematika, fisika, kimia, biologi
dan bahasa Inggris. Contoh: guru
biologi yang hafal AL QUR’AN, dengan cara ini seorang guru biologi ketika
menerangkan tentang proses penciptaan manusia langsung bisa menyebutkan ayat
yag bersangkutan, dengan cara yang demikian peserta didik lebih mudah untuk
mengingatnya
2.
Adanya Program Pelajaran Agama
dengan Nuansa Iptek
Melalui program ini
dilakukan upaya menjembatani
pemaduan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena bagaimanapun
juga teknologi dapat membantu pengalaman beragama. Contoh: mengajar Qur’an
Hadits dengan menggunakan audio visual.
3.
Adanya Program Penciptaan Suasana
keagamaan di Madrasah
Penciptaan suasana keagaman
di Madrasah tidak terbatas dalam bidang proses belajar mengajar, tetapi juga
dalam bidang-bidang lain. Contoh: melakukan shalat jama’ah di Madrasah,
Istighotsah sebelum ujian.
Adapun ketiga strategi ini merupakan satu
rangkaian sistem dalam visi sekolah/ madrasah yakni visi yang kedua yaitu
Islami. Sedangkan untuk visi yang lain yaitu sekolah/ madrasah tersebut harus populis dan berkualitas. Ketiga visi ini
merupakan gambaran yang diinginkan terhadap madrasah/ sekolah berdasarkan
potensi, semangat dan sejarah lahirnya madrasah di Indonesia.
Dengan demikian anggapan orang bahwa ilmu agama
sebagai ilmu yang sakral dan lebih tinggi kedudukannya dari pada ilmu umum,
sedangkan ilmu umum merupakan ilmu-ilmu protan (ilmu keduniawian yang bertitik
tolak pada penelitian empiris, rasional dan logika) adalah salah. Karena
pada dasarnya semua ilmu itu berasal dari Tuhan dan satu dengan lainnya saling
berkaitan. “Science without religion is blind, and religion without science
is lame.”
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi. Jakarta: Rosdakarya. 2008.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi. Yogyaarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Abdullah M.Amin. Reintegrasi
Epistemologi Keilmuan Umum, dan Agama. Jakarta: PERTA. 2002.
Darajadjat Zakiah. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2006.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan
Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta. Prenada
Media. 2004.
Maksum. Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Muliawan, Jasa Ungguh. Pendidikan
Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Nafa, Abuddin, dkk. Integrasi Ilmu
Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
Shaleh. Abdur Rachman. Madrasah dan
Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2004.
[1] Abdul Majid dan Dian
Andayan, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Rosdakarya. 2008), h. 56.
[5] Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media. 2004), h. 37.
[6] Abuddin Nata, dkk. Integrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005), h. 19.
[7] Abdul Rachman Shaleh,
Madrsah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi Misi dan Aks,i (Jakarta: PT. Raja Grafinfo Persada.
2004), h. 265.
[8] Abuddin Nata, dkk. Integrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005), h. 141.
[10] Amin Abdullah, Reintegrasi
Epistimologi Keilmuan Umum dan Agama, (Jakarta: PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam,
Vol.V/No.1. 2002), h. 48.
[12] M. Amin Abdullah, Reintegrasi
Epistimologi Keilmuan Umum dan Agama, (Jakarta: PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam,
Vol.V/No.1. 2002), h. 38.
[13] M. Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2006), h. 107.


Comments
Post a Comment
bismillahi....