Teori-teori perkembangan manusia
A. Tori Perrkembangan Manusia[1]
Pada pembahasan jiwa
(anima) diketahui bahwa manusia memiliki kesempurnaan dibanding makluk yang
lain. Manusia dalam hidup mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun
kejiwaan (fisiologis dan psikologis). Banyak faktor yang menetukan perkembangan
manusia, yang mengakibatkan munculnya berbagai teori tentang perkembangan
manusia. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Teori Nativisme
Pelopor teori ini adalah Athur
Schopenhauer. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh
nativus atau faktor-faktor bawaan manusia sejak dilahirkan. Teori ini
menegaskan bahwa manusia memiliki sifat-sifat tertentu sejak dilahirkan yang
mempengaruhi dan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Faktor
lingkungan dan pendidikan diabaikan dan dikatakan tidak berpengaruh terhadap
perkembangan manusia. Teori ini memiliki pandangan seolah-olah sifat-sifat
manusia tidak bisa diubah karena telah ditentukan oleh sifat-sifat turunannya.
Bila dari keturunan baik maka akan baik dan bila dari keturunan jahat maka akan
menjadi jahat. Jadi sifat manusia bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori
ini memandang pendidikan sebagai suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan
golongan manusia yang “kebetulan” memiliki keturunan yang tidak baik.
2.
Teori empirisme
Berbeda dengan teori
sebelumnya, teori ini memandang bahwa perkembangan individu dipengaruhi dan
ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama perkembangan mulai
dari lahir hingga dewasa. Teori ini memandang bahwa pengalaman adalah termasuk
pendidikan dan pergaulan. Penjelasan teori ini adalah manusia pada dasarnya
merupakan kertas putih yang belum ada warna dan tulisannya akan menjadi apa
nantinya manusia itu bergantung pada apa yang akan dituliskan. Pandangan teori
ini lebih optimistik terhadap pendidikan, bahkan pendidikan adalh termasuk
faktor penting untuk menenukan perkembangan manusia. Teori ini dipolopori oleh
Jhonh Lokce.
3.
Teori Konvergensi
Teori ini merupakan gabungan dari kedua teori di atas yang
menyatakan bahwa pembawaan dan pengalaman memiliki peranan dalam mempengaruhi
dan menentukan perkembangan individu. Asumsi teori ini berdasar eksperimen dari
William Stern terhadap dua anak kembar. Anak kembar memiliki sifat keturunan
yang sama, namun setelah dipisahkan dalam lingkungan yang berbeda anak kembar
tersebut ternyata memiliki sifat yang berbeda. Dari sinilah maka teori ini
menyimpulkan bahwa sifat keturunan atau pembawaan bukanlah faktor mayor yang
menentukan perkembangan individu tapi turut juga disokong oleh faktor lingkungan.
1.
Tahap Bayi (Sejak
lahir hingga usia 18 bulan)
Periode
ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena
orang biasa melihat bayi memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu
memainkan peranan terpenting untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih
kepada anak, dengan penekanan pada kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini
dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust (percaya) pada
lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik. Sebaliknya, bila
gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan
akan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh
frustrasi. Banyak studi tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang
menunjukkan betapa pentingnya pembentukan keyakinan di tahun-tahun awal
kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan dasar perasaan
percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka bumi,
dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap
signifikan dalam memberikan kasih sayang secara tetap.
2. Tahap Kanak-Kanak
Awal (18 Bulan hingga 3 tahun)
Selama
tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar
belajar berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari
perkembangan motorik yang lebih halus, termasuk latihan yang sangat dihargai: toilet
training. Di masa ini, individu berkesempatan untuk belajar tentang harga
diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya kemampuan mengendalikan bagian
tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah. Salah satu ketrampilan
yant muncul di periode adalah kemampuan berkata tidak. Sekalipun tidak
menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan
kemauan.
3. Tahap Usia Bermain (3 hingga 5 tahun)
Pada
periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di
sekitarnya dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak laki-laki
bermain dengan kuda-kudaan dan senapan kayu, anak perempuan main
“pasar-pasaran” atau boneka yang mengimitasi kehidupan keluarga, mobil-mobilan,
handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran, dsb. Di masa ini, muncul
sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak: ”kenapa?”
- Tahap Usia Sekolah (Usia 6 – 12 tahun)
Periode
ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya
menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti,
berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya
pertumbuhan dan perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa
tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan
baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri
(ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dan
sebagainya), serta berada di dalam konteks sosial. Bila individu gagal
menempatkan diri secara normal dalam konteks sosial, ia akan merasakan ketidak
mampuan dan rendah diri.
Sekolah
dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego
ini, sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai
otoritas tunggal.
- Tahap Remaja (Usia 12 hingga 18 tahun)
Bila
sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan untuk saya,
sejak stage perkembangan ini perkembangan tergantung pada apa yang saya kerjakan.
Karena di periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum menjadi dewasa,
hidup berubah sangat kompleks karena individu berusaha mencari identitasnya,
berjuang dalam interaksi sosial, dan bergulat dengan persoalan-persoalan moral.
Tugas
perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang
terpisah dari keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih
luas. Bila stage ini tidak lancara diselesaikan, orang akan mengalami
kebingungan dan kekacauan peran.
Hal
utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di masa ini,
seseorang bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada
kenyataannya tidak demikian. Wajar bila di periode ada kesetiaan dan
ketergantungan pada teman.
- Tahap Dewasa Awal (Usia 18 hingga 35 tahun)
Langkah
awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang saling
memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan.
Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.
Kegagalan
di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia
terasa sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk
pertahanan ego.Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan
persahabatan.
- Tahap Dewasa (Usia 35 hingga 55 atau 65tahun)
Masa
ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh
dengan pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di
seputar keluarga. Selain itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak lama.
Tugas
yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya
pada keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang
stabil. Kekuatan timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan
sumbangan pada kebaikan masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di
masa ini, kita takut akan ketidak aktifan dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara
itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan
berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna
dan tujuan hidup yang baru. Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah
self-absorpsi atau stagnasi.Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan
keluarga.
- Tahap Dewasa Akhir (Usia 55 atau 65tahun hingga mati)
Orang
berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan
bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada
kehidupan, ia akan merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh menerima
keluasan dunia dan menjelang kematian sebagai kelengkapan kehidupan.
Daftar Pustaka
- Mubin dan Cahyani,Ani. Psikologi Perkembangan, Ciputat: Quantum Teachig, 2006.
- Poerwati, Endang dan Widodo Nur. Perkembangan Pustaka Didik, Jakarta: UMM, 2002.
- Muawanah, Elvi dan Hidayah, Rifa. Bimbingan Konseling Islami di Sekolah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Comments
Post a Comment
bismillahi....