LARANGAN BAGI PEJABAT UNTUK MENERIMA HADIAH


HADITS 12:

حَدَّثَنَا أَبُوْ الْيمَانِ: أَخْبَرَناَ شُعَيْبٌ، عَنِ الزُهْرِيَ قَالَ: أَخْبَرَنِيْ عُرْوَةُ، عَنْ أَبِيْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُسْتَعْمَلَ عَامِلاً، فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أَهْدِيَ لِي. فَقَالَ لَهُ: (أَفَلاَ قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمَّكَ، فَنَظَرْتَ أَيُهْدَىْ لَكَ أَمْ لاَ؟).
ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةَ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهَِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: (أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ، فَيَأْتِيْنَا فَيَقُوْلُ: هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِيْ، أَفَلاَ قَعَدَ فِيِْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ: هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئاً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيْراً جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ، وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ، وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ، فَقَدْ بَلَّغْتُ).
فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، حَتىَّ إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ. قَالَ: أَبُوْ حُمَيْدٍ: وَقَدْ سَمِعَ ذَلِكَ مَعِيْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، مِنَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَلُوه
(صحيح البخاري كتاب الإيْمان والنذور باب كيف يمين النبي ص.م)[1]

Diceritakan dari Abu Yamin telah mengabarkan kepadaku dari Syu’aib dari Zuhriy berkata: Urwah telah mengabarkan kepadaku dari Abu Humaid As- sa’idi ra bahwasanya dia memberi kabar bahwa Rasulullah SAW mengangkat seorang aamil atau pegawai untuk menerima shadaqah/ zakat, kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasulullah ini utnukmu dan ini hadiah yang diberikan orang kepadaku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: mengapakah engkau tidak duduk saja dirumah ayah atau ibu untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak? Kemudian rasulullah berdiri pada sore hari sesudah shalat lalu beliau membaca tasyahud dan memuji Allah SWT  yang sudah selayaknya disandangNya kemudian bersabda: : Ammaba’du, mengapakah seorang aamil yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata: ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya untuk mengetahui Apakah diberi hadiah atau tidak, demi Allah yang jiwa Muhammad ditangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi) melainkan ia akan menghadap dihari kiamat memikul diatas lehernya, jika berupa unta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembek, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Hamid berkata: kemudian Nabi SAW mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat kedua ketiaknya. Berkata Abu Humaid, benar saya mendengar hal itu bersama Zaid bin Tsabit dari Nabi SAW. Maka tanyalah kepada Zaid bin Tsabit.

KANDUNGAN MAKNA HADIS

Nabi SAW mempekerjakan seorang laki-laki maksudnya adalah seorang laki-laki dari suku Azad yang bernama Ibnu Lutbiyah untuk mengurus sedekah (zakat).
Sedangkan hadits Abu Hamid, sesungguhnya Nabi SAW mencela perbuatan Ibnu Luthbiyah yang menerima hadiah yang diberikan kepadanya, karena kedudukannya sebagai seorang pegawai pemerintah. Kemudian kalimat” mengapa dia tidak duduk dirukmah ibunya” memberi faidah bahwa sekiranya dia diberi hadiah dalam kondisi seperti itu, niscaya hukumnya makruh, karena tidak ada factor yang menimbulkan kecurigaan.
Ibnu Baththal berkata,” dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa hadiah yang diberikan kepad pegawai pemerintah harus dimasukkan ke dalam kas Negara (baitul maal), dan pegawai yang diberi hadiah itu tidak dapat memilikinya kecuali jika pemimpinnya [imam] menyerahkan kepadanya. Selain itu, tidak disukai menerima hadiah orang yang meminta pertolongan.[2]

PERSPEKTIF HADITS LAIN[3]

Orang yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu
 وَقَالَ عُمَرَ ِبِن عَبْدِالْعَزيز: كَانَتْ الهَدِيَّةُ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ واليَوْمَ رِشْوَةٌ
Umar Bin Abdul Aziz berkata,” hadiah pada masa Rasulullah SAW bernilai hadiah, adapun pada hari ini adalah suap.”

Keterangan Hadits:
(Bab orang yang tidak menerima hadiah tertentu karena sebab tertentu), yakni karena sebab  tertentu yang menimbulkan keraguan, seperti utang atau yang sepertinya.
وَ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيْز(Umar bin Abdul Aziz berkata… dan seterusnya). Atsar ini disebutkan dengan sanad yang maushul oleh Ibnu Sa’ad dan didalamnya dia menyebutkan satu kisah. Diriwayatkan dari farrat bin Muslim, dia berkata
اِشْتَهَيْ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ التُّفَّاحَ فَلَمْ يَجِدْ فِيْ بَيْتِهِ شَيْئًا يَشْتَرِيْ بِهِ، فَرَ كِبْنَا مَعَهُ فَتَلَقَّاهُ غِلْمَانُ الدََّيْرِ بِأَطْبَاقِ تُفَّاحٍ، فَتَنَا وَلَ وَاحِدَةً فَشَمَّهَا ثُمَّ رَدَّ اْلأَطْبَاقَ، فَقُلْتَ لَهُ فِى ذَلِكَ فَقَالَ : لاَحَاجَةَ لِى فِيْهِ، فَقُلْتُ:أَلمَ ْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللِه صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ يَقْبَلُوْنَ الْهَدِيَّةَ؟ فَقَالَ: اِنَّهَا لأُوْلَئِكَ هَدِيَّةَ وَهِىَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ
(Umar bin Abdil Aziz ingin memakan apel, namun dia tidak mendapati di rumahnya sesuatu yang dapat digunakan untuk membelinya. Kamipun menunggang kuda bersamanya, kemudian dia disambut oleh pemuda- pemuda biara dengan piring- piring yang beriis apel, umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu mengembalikannya ke piring- piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu mengembalikannya kepiring. Akupun bertanya kepadanya mengenal hal itu. Maka dia berkata,” Aku tidak membutuhkannya.” Aku bertanya,” Bukankah Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?” Dia menjawab,” sesungguhnya ia bagi mereka adalah hadiah, dan bagi pejabat sesudah mereka adalah suap.”)

Abu Nu’aim telah menukil kisah ayng lain melalui sanad yang mausul dalam kitab Al- Hilyah dari Amr bin Muhajir, dari Umar bin Abdul Aziz.
Suap adalah sesuatu yang diambil tanpa imbalan, dan orang yang mengambilnya patut mengambilkan celaan.
Ibnu Al Arabi berkata,” suap adalah semua harta yang diserahkan kepada seseorang yang memiliki kedudukan demi memuluskan persoalan yang tidak halal. Orang yang menerima suap disebut dengan murtasyi, orang yang memberi sogokan disebutkan rasyi, sedangkan orang yang menjadi perantaranya disebut dengan ra’isy. Sementara itu, telah disebutkan hadits shahih dari Abdullah bin Amr tentang laknat bagi orang yang menyuap dan orang yang mengambil suap. Hadits ini diriwayatkan oleh At- Tirmidzi dan dia men-shahih-kannya. Lalu dalam satu riwayat disebutkan laknat terhadap orang yang menjadi perantara dan orang yang memberi suap.”
Ibnu al- Arabi menambahkan,” Maksud seseorang yang memberi hadiah tidak terlepas dari tiga hal; mengharapkan penerima hadiah, mengharapkan bantuannya, atau mengharapkan hartanya. Adapun yang paling utama adalah yang pertama. Sedangkanyang ketiga adalah diperbolehkan, karena diharapkan akan dibalas, melebihi apa yang dihadiahkan, dan terkadang justru disukai jika orang yang diberi hadiah dalam kondisi membutuhkan dan orang yang memberi hadiah tidak memaksakan diri. Akan tetapi bila tidak demikian, maka hukumnya makruh. Terkadang hadiah menjadi sebab timbulnya kecintaa, namun terkadang sebaliknya. Sementara itu, yang kedua apabila utnuk kemaksiatan, maka tidak diperbolehkan dan inilah yang dinamakan suap. Bila untuk ketaatan, maka disuaki; namun bila untuk perkara mubah, maka hukumnya mubah (boleh). Akan tetapi bila orang yang diberi hadiah bukan orang hakim, sedangkan bantuan yang diharapkan adalah untuk menolak kezaliman atau menyampaikan kebenara, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Hanya saja disukai bagi orang diberi hadiah tersebut untuk tidak mengambilnya. Akan tetapi bila yang diberi hadaih adalah hakim, maka dia haram menerimanya.” Demikian nukilan perkataan Ibnu Arabi.
Makna yang disebutkan Umar bin Abdul Aziz, terdapat pula dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Athabrani dari hadits Humaid, dari nabi SAW
ِ هَدَايَا الْعُمَّالٍ غُلُوْلٌ (hadiah- hadiah untuk para pejabat adalah penghianatan). Dalam ­ sanad-nya terdapat Ismail bin Abi Ayyasy, sedangkan riwayatnya dari selain penduduk madinah dikenal lemah, dan hadits ini termasuk salah satunya. Dikatakan pula bahwa dia meriwayatkan secara maknawi dari kisah Ibnu Lutbiyah (hadits kedua pada bab diatas)

Sehubungan dengan persoalan ini, dinukil pula dari Abu Hurairah, Ibny Abbas dan Jabir, yang semuanya dinukil oleh Ath-Thabarani dalam kitanbnya Al Mu’jam  Al Ausath dengan sanad yang lemah.




DAFTAR PUSTAKA

Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Bin Mughirah Bin Bardizhbah Al-Bukhori Al-Ja’fiyyi. Tarjamah Shohih Bukhari. Semarang : Asy-Syifa’, 1993.

Imam Abi Asdillah Muhammad Ibnu Ismail sin Israhim bin Bardizh al Bukhari al- Jakfari, Shohih Bukhori Bairut : Dar Al Fikri, 1401/1981M, Jilid 7.

Ibnu Hajar al-Asqolani, Fatkul Baari Jakarta : Pustaka Azam, 2007, jilid 14.














[1] Imam Abi Asdillah Muhammad Ibnu Ismail sin Israhim bin Bardizh al Bukhari al- Jakfari, Shohih Bukhori  (Bairut : Dar Al Fikri, 1401/1981M), Jilid 7, Hal. 162
[2] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fatkul Baari ( Jakarta : Pustaka Azam, 2007), jilid 14, Hal. 406
[3] Ibid., 401-405.

Comments

Popular posts from this blog

Kurikulum Sebagai Sistem Dan Komponen-Komponen Sistem Kurikulum

Sejarah ilmu mantiq

PENDIDIKAN PONDOK PESARNTREN HUDATUL MUNA 1 JENES